Istilah “piety” dalam bahasa Indonesia berarti “kesalehan”. Piety berarti “kualitas yang ditunjukkan oleh seseorang yang religius” atau “menjalankan dengan tekun apa yang diajarkan oleh agama”. Dalam hal ini, tentu kita sadar bahwa sebagai orang Kristen, kita dididik untuk hidup dalam kesalehan. Namun, di saat yang bersamaan, agama dan filsafat dunia juga turut mengajarkan kesalehan dalam versinya masing-masing. Jika demikian, apakah yang menjadi keunikan dari piety yang dituntut dalam Kekristenan?

Dalam khotbah di bukit, Yesus Kristus menetapkan dasar yang sangat penting mengenai piety. “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Matius 6:1). Secara umum, dari Matius 6:1-18, kita dapat menemukan empat tanda kesejatian dari suatu piety yang Kristus tuntut di dalam diri setiap orang Kristen.

The Hidden Piety

Tanda kesejatian pertama dari suatu piety terletak di dalam ketersembunyiannya. Yesus mengajar kita untuk berdoa di tempat tersembunyi, memberi persembahan tanpa perlu dilihat orang lain dan berpuasa tanpa diketahui orang lain. Ia juga telah menjadi teladan terbesar bagi kita. Injil Lukas berkali-kali mencatat bahwa Yesus berdoa seorang diri (Lukas 5:16, 6:12, 9:18). Tetapi, apabila kita menelaah lebih jauh, fokus dari Matius 6:1 sebenarnya bukan terletak pada “dilihat atau tidak dilihat” atau “dinilai atau tidak dinilai” oleh orang lain. Ayat ini juga tidak sedang berbicara tentang cara untuk memperoleh upah dari Allah Bapa. Esensi terpenting darinya yang harus menjadi fokus kita adalah sikap hati kita di hadapan Tuhan.

Dalam penerapannya, hidden piety tentu sangat sulit untuk dilakukan. Diperlukan penyangkalan diri yang luar biasa besar untuk mengerjakannya. Ketika ingin mendukung beberapa pelayanan melalui persembahan, muncul keinginan untuk diketahui orang. Ketika hadir dalam persekutuan doa, muncul keinginan untuk dipuji orang. Ketika berpuasa, muncul keinginan untuk diketahui dan dianggap sebagai orang yang rohani. Tetapi, justru dalam kesulitan semacam ini, kita menyadari bahwa hidden piety bukan hanya merupakan perintah Tuhan, melainkan juga alat Tuhan untuk mendidik orang Kristen. Melalui hidden piety, kita belajar menyangkal diri dan melawan keinginan daging yang sangat kuat. Melaluinya juga, kita menyadari kelemahan kita dalam melawan kedagingan serta kebutuhan kita akan kebergantungan yang lebih kepada Tuhan lewat persekutuan dan doa-doa pribadi.

The Genuine Piety

Alkitab ESV dengan sangat indah menerjemahkan istilah “kewajiban agama” sebagai righteousness atau kebenaran. Di dalam kitabnya, Salomo memberi peringatan “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23). Kristus juga mengatakan, “..bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang” (Matius 15:11). Hidup yang benar akan terlihat oleh orang lain bukan karena kita mengerjakannya, melainkan karena ia muncul dengan sendirinya dari dalam hati orang yang benar.

Penampilan luar mungkin dapat dipalsukan. Kita pun dapat tertipu oleh fenomena. Akan tetapi, kekudusan hidup tidak dapat dipalsukan. Orang Kristen yang terus-menerus hidup di dalam dosa, tidak menjaga kekudusan hidup dan hatinya serta tetap memalsukan penampilan luar akan sampai pada suatu titik di mana ia menjadi lelah dan dengan sendirinya akan mundur di dalam kerusakan rohani. Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah yang tidak tertipu oleh fenomena. Dia sendiri akan terus menyaring dan menyeleksi orang-orang yang akan dipakai-Nya. Berjuanglah untuk terus waspada dan menjaga kekudusan hidup dan relasi kita dengan Allah, maka piety akan mengalir keluar dengan sendirinya. Inilah tanda kesejatian piety yang kedua; piety yang genuine atau tulus, bukan rekayasa.

The Given Piety

Dua tanda kesejatian yang pertama menuntun kita kepada kesimpulan mengenai tanda selanjutnya, yaitu bahwa piety yang sejati bersifat given atau dianugerahkan. Perjuangan kita untuk melawan kedagingan dalam hidden piety dan menjaga kekudusan hidup dalam genuine piety adalah terlampau sulit dan berat apabila kita mengandalkan kekuatan kita sendiri. Oleh sebab itu, kita harus senantiasa bersujud dan memohon kepada Allah agar Roh Kudus-Nya saja yang terus memampukan dan menguatkan kita.

The Doctrinal Piety

Sebuah piety yang sejati juga tidak dapat dijalankan secara asal-asalan dengan prinsip “yang penting pakai hati”. Kaum Puritan sangat mengerti bahwa terdapat pengertian teologis dan doktrinal yang melatarbelakangi piety dalam Kekristenan. Itulah sebabnya mereka tidak sembarangan dalam menjalankan kesalehan dan disiplin rohani. Mereka berdoa dengan pengertian doktrin yang ketat, menganggap serius persembahan dan puasa di hadapan Tuhan serta melayani dan menginjili dengan dasar teologis yang kuat. Kaum Puritan menjadi teladan bagi kita dalam menjadi orang Kristen yang dewasa. Mari kita belajar untuk menjalankan kesalehan hidup, tidak lagi secara asal-asalan, tetapi dengan memperdalam doktrin dan pemahaman kita akan Firman Tuhan.

Berdoalah agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa diperkenan di hadapan Tuhan dan bukan menjadi orang-orang yang pada akhirnya akan mempermalukan nama Tuhan dan kekristenan. Soli Deo Gloria!

Photo by Olivia Snow on Unsplash