Ajakan Luther untuk menghidupi perjalanan kita mengikut Yesus sebagai sebuah pertobatan dan ajaran dari para Calvinist untuk menjalani ketaatan kita kepada hukum Tuhan sebagai suatu bentuk ucapan syukur haruslah diwujudkan secara konkret dan nyata dalam kehidupan kita sehingga tinggal menjadi slogan belaka. Langkah pertama yang dianjurkan katekismus Heidelberg agar kita dapat mengalami persatuan dengan Kristus (“Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milikku, melainkan milik Yesus Kristus”) adalah dengan ‘menyadari betapa besar dosa dan kesengsaraan kita’ (Q/A #1), lalu mengetahui dan menghayati bagaimana kita dapat dilepaskan, baru setelahnya menghidupi kemerdekaan itu di dalam ucapan syukur.

Langkah pertama untuk menyadari betapa dalamnya kita telah jatuh dapat ditempuh dengan memperhatikan keadaan jiwa kita, yang tentu saja berkaitan langsung keadaan dunia ini. Memperhatikan dunia dan jiwa kita dengan cara Tuhan melihatnya akan menimbulkan rasa sedih, marah, takjub, bahkan apati. Ada tradisi yang panjang dari orang-orang percaya sepanjang zaman yang dapat kita pakai untuk menelisik secara mendalam dosa-dosa dalam kebudayaan dan kalbu kita, di antaranya adalah perenungan-perenungan tentang Tujuh Dosa Maut. Dalam bukunya yang provokatif, Sinning Like a Christian, William Willimon menulis:

In the Christian faith, an act or inclination, a passion or an emotion is sinful to the degree that it alienates us from God by offending God. Sin is about God. . . . Thus we are not to seek the seriousness and significance of [sins] by uncovering their deleterious effects upon human life, but rather the way in which each, in its own way, and in concert, violates the nature of God.

Yang paling buruk dari dosa bukanlah bahwa dosa merampok kita dari kemuliaan kemanusiaan kita yang tinggi, (walaupun memang benar dosa telah memerosotkan gambar dan rupa Allah ini menjadi hewan yang rendah atau membengkokkannya menjadi iblis yang jahat) melainkan karena dosa pada intinya merupakan suatu perlawanan kepada Tuhan. Dosa merampok penyembahan kita kepada Tuhan, ibadah dan bakti kita kepada Sang Pencipta. Kecongkakan, Iri hati, Kemurkaan, Apati, Keserakahan, Kerakusan dan Hawa Nafsu memang menjadikan kita serendah binatang atau sejahat iblis – tetapi yang terutama adalah dosa-dosa ini merampas kemuliaan yang sedianya terpancar lewat segala keberadaan. Gloria Dei vivens homo, kata st. Irenaeus – kemuliaan Allah itu ada dalam kehidupan manusia.

Tetapi jika kita melihat dengan jujur apakah yang kita lakukan satu sama lain di dalam kecongkakan, persaingan, kerakusan, dan segala ambisi berdosa kita – apakah yang kita lihat di dalam dunia ini? Inilah tragedinya menurut Alkitab: dunia yang diciptakan menjadi kediaman kemuliaan Allah, menjadi bait Allah, telah dihuni oleh kejahatan dan dosa. Hal ini tentu tidaklah menjadi persoalan bagi orang-orang yang tidak mencintai Tuhan, seperti manusia lama kita. Tetapi sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, tentu saja hati kita menjadi sedih, marah, kecewa, bahkan dalam jangka panjang dapat menjadi putus asa ketika memikirkan ketidakadilan, kemunafikan, kecongkakan, dan segala kemerosotan dari ciptaan. Jika anda mengalami hal ini, anda berbahagia. Seperti kata Yesus dalam Sabda Bahagia, “Berbahagialah mereka yang berduka cita, karena mereka akan dihiburkan.” Dimanakah penghiburan kita? “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung. Dari manakah akan datang pertolonganku?”

Penghiburan ini datang seiring dengan datangnya kerajaan Allah. Injil adalah Kabar Baik tentang kedatangan kerajan ini. Kemenangan Kristus di kayu salib telah membuka jalan bagi datangnya kerajaan Tuhan di bumi. Sebagai gereja, kita diundang untuk berpartisipasi dalam datangnya kerajaan Kebenaran, Keadilan dan Kasih itu. Di sinilah Reformasi Luther, Calvinisme di Jenewa, Reformasi di tubuh gereja Inggris dan gerakan-gerakan reformasi lainnya dapat dipahami sebagai suatu ajakan untuk berpartisipasi dalam kemenangan Kristus untuk berjuang melawan dosa di dalam struktur-struktur kekuasaan yang menindas dalam dunia ini.

Kita terpanggil untuk bersuara bagi mereka yang bisu, menyuarakan penindasan yang mereka alami. Kita terpanggil untuk menyatakan betapa miskin dan menyedihkannya hedonisme, konsumerisme, dan materialisme yang meraja-lela di kota-kota besar dan di kampus-kampus. Kita terpanggil untuk bergerak dan berbuat sesuatu. Kita dapat memulainya dengan ‘berkumpul bersama’ di bawah kaki salib Yesus untuk ‘mengenang akan Dia’, untuk membiarkan hati kita berkobar-kobar dengan pengharapan sewaktu kita menyadari kisah-kisah-Nya membuat hidup kita menjadi ‘make sense,’ untuk membiarkan anugerah pengampunan Tuhan membanjiri hati kita dengan cinta dan mentrasformasi kehidupan bersama kita secara autentik menjadi suatu komunitas yang berbeda sampai ke akar-akarnya.

Suatu komunitas yang pada akhirnya akan membuat dunia menyadari hal-hal yang hilang dari cara-cara mereka hidup dan bermimpi. Suatu komunitas yang tidak takut akan hal-hal yang ditakuti dunia ini, dan tidak tertarik kepada hal-hal yang dikejar dunia ini, sebab kita mengetahui dan digerakkan oleh sesuatu yang lebih tinggi daripada itu semua, yaitu iman, pengharapan dan kasih akan pertolongan Tuhan di dalam Kristus Yesus.

Pertanyaan refleksi

  1. Pikirkan contoh praktik-praktik atau institusi-institusi yang kalau dipikir lebih mendalam sesungguhnya apa yang terjadi sungguh menyedihkan atau tidak adil. Misalnya, anda dapat memikirkan tentang spekulasi properti yang membuat harga rumah melambung di luar jangkauan anak-anak muda sehingga mereka tak kunjung berani menikah. Pikirkan juga betapa beberapa pejabat publik maupun pimpinan perusahaan seringkali mengunjungi klub-klub hiburan yang memperlakukan kaum wanita sebagai komoditas belaka. Apakah mereka suka jika anak-anak gadis atau istri-istri atau ibunda mereka bekerja di tempat-tempat demikian? Jika tidak bagaimanakah orang-orang seperti ini mendamaikan hati nurani dengan praktik keseharian mereka? Bagaimanakah Injil Yesus Kristus dapat disajikan sebagai Kabar Baik bagi dunia ini?
  2. Pikirkan praktik-praktik yang kamu sendiri jalani. Mungkin kamu bukanlah berdosa ‘separah’orang-orang berdosa ‘di luar sana’ tetapi barangkali kita juga dalam satu dan lain cara terlibat dalam menikmati hasil-hasil yang menyangkut praktik-praktik berdosa semacam itu. Mungkin ada darah dan airmata dalam produk-produk elektronik murah meriah yang kita beli, atau ada perayaan kecongkakan dalam barang-barang branded yang kita kenakan dengan gagah, atau ada penindasan kepada lingkungan hidup dalam cara-cara kita mengkonsumsi barang-barang, atau bentuk-bentuk dosa terselubung lainnya. Bagaimanakah kita berespon terhadap dosa-dosa yang tak terelakkan dalam kebudayaan ini?
  3. Bagaimanakah Doa Bapa Kami berbunyi untuk menguatkan kita di Jalan Tuhan sewaktu kita mengikuti Tuhan di dalam dunia berdosa ini? Bagaimanakah Doa Yang Diajarkan Tuhan Yesus itu berkaitan dengan datangnya Kerajaan Allah?