Di suatu siang, tiba-tiba saya melihat seekor kupu-kupu bercorak memasuki ruangan koridor yang ada di sekitar sekolah kami. Kupu-kupu itu terlihat kesusahan dalam mengepakkan sayapnya. Saya melihat beberapa kali kupu-kupu itu berusaha terbang namun akhirnya menyerah dan berhenti terbang lagi. Buru-buru saya mendekati kupu-kupu itu dan mengambilnya, berusaha melihat kerusakan sayapnya dan melihat apakah masih ada kemungkinan bagi kupu-kupu itu untuk terbang kembali.

Butuh waktu sekitar tiga menit buat saya pribadi untuk melihat masalah yang ada pada kupu-kupu itu. Saya melihat bahwa sayap kupu-kupu itu hanya mengembang sebelah dan badan kupu-kupu itu terlalu besar untuk dibawa oleh sayapnya. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Ada beberapa fase kehidupan kupu-kupu. Pertama, telur, kemudian dia akan berkembang menjadi ulat. Pada fase ulat, jumlah makanan yang dimakan sangat banyak sekali hingga mencapai fase kepompong. Fase kepompong ini adalah suatu fase dimana kupu-kupu benar-benar bergantung kepada lingkungan sekitar karena memang dia tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi dirinya. Setelah beberapa saat, kepompong akan pecah dan kupu-kupu keluar.

Dulu saat saya masih SD, melihat kupu-kupu yang kesusahan keluar dari kokon (kepompong) membuat saya terinspirasi untuk membantu dan mengguntingnya. Tetapi apa yang terjadi? Kupu-kupu itu memang dengan cepat bisa keluar namun dia tidak bisa terbang. Dia tetap bergerak seperti ulat; berjalan menggunakan kaki-kakinya dan tidak bisa terbang menggunakan sayapnya. Keluar dari sarangnya memang membutuhkan usaha, tetapi ternyata itu bukan tanpa tujuan. Semakin keras usaha kupu-kupu tersebut keluar dari sarangnya maka semakin berkembang sayap yang akan digunakan dan cairan yang ada dalam tubuhnya akan dikeluarkan hingga akhirnya badannya menjadi lebih kecil, dan sayap yang sudah terkembang mampu menopang tubuhnya.

Pernahkah kita berpikir bahwa terkadang masalah yang kita hadapi membuat kita seperti berada dalam “sarang”, tidak tahu harus berbuat apa, pasrah, dan menyerah? Bergantung sepenuhnya, sudah mencari jalan namun seolah-olah sudah mentok dan tak ada jalan lagi? Mungkin saat ini kita sedang berada dalam fase kepompong menuju fase kupu-kupu. Memang bukanlah suatu proses yang menyenangkan malah justru sangat menyakitkan. Masalah serasa menekan pundak begitu berat membuat kaki seolah-olah terbelenggu besi yang tak mampu diangkat. Namun hasil yang kita dapatkan tergantung seberapa dalam kepercayaan kita kepada Tuhan dan seberapa siap kita untuk dilatih. Hidup menjadi seorang Kristen bukan berarti bebas dari masalah, tetapi justru siap mengatakan “My problem is big but my Jesus is bigger than it”. Hidup yang terlalu nyaman justru membuat iman kita menjadi flat dan kita merasa seolah-olah bisa hidup tanpa Tuhan. Hal ini membuat kita benar-benar bisa “lupa Tuhan” dan seolah-olah semuanya bisa berjalan damai, mulus karena kita sendiri bukan karena campur tangan Tuhan.

Selama 4 tahun merantau di Cikarang membuat saya mengerti bahwa tidak setiap dari apa yang saya harapkan, apa yang saya rencanakan terjadi. Banyak hal yang diluar ekspektasi saya terjadi dan bahkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah saya harapkan malah terjadi. Kejadian demi kejadian membuat saya mengerti bahwa sebenarnya saya adalah seekor kupu-kupu yang ingin keluar dari kepompongnya. Agar bisa keluar dari kepompong dan bisa hidup sesuai dengan kodratnya sebagai seekor kupu-kupu maka seharusnya saya siap dilatih agar bisa mengembangkan sayap saya dengan sempurna. Apa yang terjadi seandainya saya mau jalan pintas dan hanya mau segala sesuatu yang menyenangkan saja? Maka “sayap saya tidak akan pernah mengembang sempurna”, artinya saya tidak belajar berserah penuh kepada Tuhan, saya tidak belajar untuk bergantung penuh kepada Tuhan dan saya tidak belajar bahwa Tuhan adalah sumber segalanya. (Bona)