Dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul.

(Kis 5 : 2)

Dengan setahu isterinya, kata tahu disini dalam bahasa Yunani itu mempunyai akar kata yang sama dengan kata hati nurani, yaitu συνείδησις ( baca: suneidésis ), bahasa yunaninya hati nurani. Συνειδυίης ( baca: suneduyes ), itu kata yang dipakai.

Dengan bukan hanya sepengetahuan, kata sepengetahuan itu jadi kayak asal lewat aja, seperti ketika saudara-saudara kalau mau pergi pamit orang, jalan ya, asal lewat, sekelibat lewat. Bukan itu yang dipakai.

Dengan setahu istrinya itu apa artinya saudara-saudara, dengan kesadaran hati nurani istrinya, itu terjemahan yang benar. Dengan kesadaran hati nurani istrinya, kemudian Ananias menahan sebagian dari hasil persembahan ini. Dengan kesadaran hati nurani istrinya.

Disini kita menemukan saudara-saudara satu kesalahan, bukankah istri ditempatkan oleh Tuhan sebagai hati nurani untuk mewakili Tuhan menegur suaminya? Mengapa justru dengan kesadaran hati nurani, Safira mendukung suaminya berbuat dosa? Poin yg penting dari bagian ini yg saya ingin saudara-saudara, dalam bagian pertama kita pikir sama-sama, tidak berarti istri setuju maka benar. Tidak berarti pasangan dukung maka itu benar. Oh ini mereka sehati lho. Bagus tidak pasangan yang sehati, buktinya banyak pasangan yang tidak sehati kok. Ini ada pasangan sehati kan bagus. Tapi sehatinya ngawur. Sehatinya dalam dosa. Sehatinya salah arah. Itulah problemnya. Yang benar apa saudara-saudara, yang benar ketika istrinya menyetujuinya pun, suami mengatakan tidak. Memang mama setuju, tetapi setelah papa doa lagi, ternyata tidak. Itu yang benar.

Saudara-saudara sekalian tidak berarti istri setuju, kita benar. Tidak berarti pasangan setuju, itu benar. Ini poin penting. Bukankah suami istri harus saling menarik untuk mengikut Tuhan. Yang menjadi kita balikkan kalimat yang ada disini bukankah seharusnya istri adalah hati nurani yang mewakili Tuhan menegur suami. Bukannya Istri menyetujui suami berbuat yg tidak benar. Yang benar adalah meskipun pasangan setuju, meskipun pasangan perbolehkan, dia mengatakan tidak. Saya bergumul lagi di hadapan Tuhan ternyata tidak benar. Itu yang benar. Istri suami diutus oleh Tuhan menjadi perwakilan Tuhan sebagai suara hati nurani kita. Maka kita harus bersyukur ada pasangan yang mempunyai hati nurani yg mengontrol. Kalau pasangan setuju apa saja, bahaya. Jadi pasangan rasa nggak, rasa kurang, jangan, tidak cocok. Itu perlu ada.

Bahwa kita fokus, kepada hal yang begitu penting. Apa itu? Suara hati nurani. Sekali lagi ini poin yg penting dari bagian pertama adalah: istri atau pasangan menjadi suara hati nurani yang mewakili Tuhan. Disini keliru, yaitu Safira justru dengan kepengetahuan nurani dia, kesadaran nurani dia mendukung suaminya berbuat dosa. Yang benar adalah pasangan dengan kesadaran hati nurani, kepekaan nurani yang dari Tuhan, dia mengingatkan suaminya.

Saudara-saudara sekalian biarlah kita menjalankan tugas kita yang sangat penting ini yaitu menjadi suara hati nurani mewakili Tuhan di dalam rumah tangga kita. Bukan hanya kita jadi suara hati nurani di kantor, suara hati nurani di masyarakat, suara hati nurani di gereja, tapi jangan lupa tugas penting kita: suara hati nurani di dalam rumah tangga kita sendiri. Ingatkan, harus ada orang berdiri di menara pengawal, melihat dari jauh musuh sudah datang, dan memberitahu seluruh keluarga, hati-hati, bahaya sangat besar. Itu perlu. Istri ingatkan, suami ingatkan, kok kita begini ya, kok kita begini, kita belakangan ini begini, itu penting suara itu. Suara itu jangan dibungkam. Biarkan suara itu muncul, biar dia bersuara. Kadang-kadang muncul kata “Belakangan” itu bagus sekali, belakangan kita kok gini ya, belakangan kita kok gini ya, belakangan kita kok jarang baca Alkitab ya, belakangan kita kok apa ya kok apa ya. Itu penting. Jangan bungkam suara itu, biarkan suara itu keluar. Karena Tuhan bisa memakai suara itu untuk menggembalakan kita dalam keluarga dan dalam pernikahan kita. Saudara-saudara sekalian yang menjadi problem yg sangat besar dari ayat ini, daripada Safira, yaitu saudara-saudara, justru dengan kesadaran hati nurani dia, dia mendukung suaminya berbuat dosa. Ini suatu kesedihan.