“Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” – Lukas 5:4-8

Ada closed system di dalam kalimat Petrus,

“Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa,…” – Lukas 5:5

Saudara sekalian, Petrus memang membicarakan apa yang real, pengalaman, empirical, eksistensial. Pukat ikan berwarna terang, maka kalau digunakan pada siang hari akan sulit menangkap ikan, karena ikan dapat melihatnya. Itulah sebabnya nelayan pergi menangkap ikan pada malam hari. Kita juga sudah diajar sejak SD, pada malam hari ada angin darat yang bertiup dari darat ke laut, sehingga memudahkan nelayan untuk berlayar ke tengah laut. Menjelang pagi hari, ada angin laut yang bertiup dengan arah sebaliknya sehingga nelayan dapat pulang. Maka nelayan tidak melaut pada siang hari, kecuali mencari kepiting atau yang lainnya.

Petrus memang membicarakan apa yang real yaitu pengetahuan dan pengalaman. Saudara perhatikan, kita perlu dengan jelas memahami hal ini agar kita tidak salah memahami posisi pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan rasional memang betul, kalau siang hari, ikan dapat melihat jaring maka tidak akan tertangkap. Tetapi inilah masalahnya: jika kita menjadikan pengetahuan dan pengalaman sebagai closed system. Apalagi jika kita melakukan ini terhadap pekerjaan Tuhan. Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung kepada pengetahuan dan pengalaman. Kita harus memiliki open system karena mungkin saja Tuhan mengintervensi. Masalah dari pengetahuan dan pengalaman adalah jika kita menjadikannya sebagai closed system. Kalau saya tuang air, maka air pasti turun ke bawah karena gravitasi, ini teori fisika. Kadang kita menjadikan hidup kita seperti teori fisika, closed system yang kita bangun berdasarkan pengetahuan rasional dan pengalaman kita. Kita lupa apa yang dikatakan Amsal,

“Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak…” – Amsal 3:7

Terutama di dalam pekerjaan Tuhan kita tidak bisa berpola pikir seperti ini. Kadang yang kita anggap mudah, ternyata sulit. Kadang yang kita anggap sulit, ternyata mudah. Kadang kita tidak bisa berpikir, “Kalau begini, pasti begini.” Atau berpikir seperti ini, “Anak ini sudah rusak, hidupnya tidak ada gunanya lagi.” Belum tentu Saudara. Kita jangan menjadikan pengetahuan dan pengalaman sebagai closed system.

Kalau Yesus bukan Master (Yunani: Epistata) bagi Petrus, ini sudah menjadi closed system. Bersyukur Petrus tetap taat,

“…tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” – Lukas 5:5

Bukan berarti kita tidak boleh memiliki pengetahuan dan pengalaman. Dua hal ini penting, tetapi bukan yang paling penting. Pengetahuan dan pengalaman perlu ada, kalau kita membuangnya sama sekali malah kita menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam hidup sehari-hari, bekerja atau melayani, kita harus memakai pengetahuan dan pikiran. Tapi jangan menjadikannya sebagai closed system, ini bahaya.

Saya pernah naik taksi dari Bandara menuju Plaza Bapindo di Gatot Subroto untuk pelayanan khotbah, perjalanan hanya memakan waktu tiga puluh menit. Padahal saat itu jam pulang kerja, sampai-sampai supir taksinya sendiri bingung, “Saya berpuluh-puluh tahun menjadi supir taksi, ini pertama kalinya Pak seperti ini, saya belum pernah mengalami hal seperti ini.” Saya sendiri tidak mengerti Saudara, kenapa bisa terjadi seperti itu.

Sekali lagi, jangan menjadikan pengetahuan dan pengalaman kita sebagai closed system. “Ini orang dengan tipe muka kayak gini, pasti sulit jadi.” Wah jangan Saudara, belum tentu. “Pokoknya anak ini sudah hancur hidupnya, tua jadi pengemis, pasti masuk neraka, ini milik setan, anak buah Lucifer!” Jangan Saudara, ini bahaya, closed system, belum tentu seperti itu. Kadang dalam perjalanan hidup, Tuhan pimpin dia menjadi indah. Kemudian kesaksiannya pasti memuliakan Tuhan karena orang banyak akan terkejut, “Wah, kok bisa ya Tuhan pakai orang seperti dia?”

Petrus merasa dirinya layak karena memakai pengetahuan dan pengalaman dia, “Tuhan, kalau bicara Taurat, bolehlah aku dengar Kamu. Tapi ini masalah tangkap ikan, ini hidup saya sehari-hari, aku jauh lebih berpengalaman.” Tidak bisa begitu Saudara. Hampir saja Petrus membentuk closed system.

Awalnya Petrus merasa diri layak, kemudian dia merasa diri tidak layak sehingga munculah kalimat,

Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” – Lukas 5:8

Kenapa Petrus menyuruh Tuhan pergi? Karena Tuhan yang mendatangi dia. Saudara ingat tentang perumpamaan pemungut cukai yang datang ke bait Allah?

“Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” – Lukas 18:13

Kenapa pemungut cukai ini berdiri jauh-jauh? Karena dia sedang datang ke bait Allah. Terbalik dengan Petrus. Petrus bukan sedang datang ke bait Allah, karena justru Allah yang sedang datang kepada dia. Pemungut cukai saat ia datang ke bait Allah, sadar bahwa dirinya adalah orang berdosa sehingga berdiri jauh-jauh. Tetapi Petrus, karena Tuhan yang datang kepada dia, maka dia sadar diri tidak layak sehingga berkata,

“…Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” – Lukas 5:8

Petrus pertama-tama merasa diri layak. Kenapa dia merasa diri layak? Orang yang merasa diri layak biasanya karena dia punya modal, yaitu pengetahuan dan pengalamannya. Musa punya modal, maka Pdt. Stephen Tong mengajar bahwa Musa berkata, “I am something.” Stefanus memberitahu kita tentang Musa,

“Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” – Kisah Para Rasul 7:22

Kemudian Musa jatuh, ia melewati tahap kedua. Setelah dia membunuh orang Mesir dan diusir dari Mesir, dia tiba pada tahap kedua yang dinamakan Pdt. Stephen Tong sebagai, “I am nothing.”

Awalnya merasa diri powerful, Musa adalah anak angkat puteri Firaun, masuk ke dalam istana Firaun, kemungkinan dia bisa masuk ke dalam kamar pribadi Firaun. Tidak pernah ada dalam sejarah orang Israel, tidak ada satu orangpun seperti Musa. Maka tidak heran jika Stefanus mengatakan bahwa Musa merasa bahwa dirinya adalah juruselamat Israel, ini masuk akal.

“Pada sangkanya saudara-saudaranya akan mengerti, bahwa Allah memakai dia untuk menyelamatkan mereka, tetapi mereka tidak mengerti.” – Kisah Para Rasul 7:25

Karena tidak ada satupun orang Israel yang dapat masuk ke dalam kamar tidurnya Firaun. Secara logika manusia, memang Musa yang paling cocok untuk bicara dengan Firaun agar melepaskan bangsa Israel, karena dia sudah begitu dekat dengan Firaun. Inilah koneksi. Tetapi Tuhan tidak mau pakai. Saudara perhatikan baik-baik, Tuhan tidak mau pakai.

“Pada keesokan harinya ia muncul pula ketika dua orang Israel sedang berkelahi, lalu ia berusaha mendamaikan mereka, katanya: Saudara-saudara! Bukankah kamu ini bersaudara? Mengapakah kamu saling menganiaya? Tetapi orang yang berbuat salah kepada temannya itu menolak Musa dan berkata: Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti kemarin engkau membunuh orang Mesir itu? Mendengar perkataan itu, larilah Musa dan hidup sebagai pendatang di tanah Midian. Di situ ia memperanakkan dua orang anak laki-laki.” – Kisah Para Rasul 7:26-29

Di saat Musa memiliki relasi paling baik dengan Mesir, Tuhan tidak mau pakai dia. Saudara perhatikan, di saat Musa sampai pada titik tersulit dalam relasinya dengan Mesir, justru di saat itulah Tuhan pakai dia. Saat Musa menjadi seorang buronan, sebagai orang yang dikejar-kejar bangsa Mesir, justru Tuhan pakai dia. Secara logika manusia, “Tuhan, apa ini tidak keliru? Musa kan buronan kelas kakap. Kalau dia kembali ke Mesir, kan malah seperti ikan loncat ke dalam jala?” Kenapa Tuhan tidak pakai Harun saja? Kalau Tuhan pakai Harun kan, Harun bisa berkata seperti Jokowi, “Saya tidak mempunyai masa lalu buruk. Saya tidak terikat kepada siapapun.”

Kenapa Tuhan justru memakai orang dengan masa lalu buruk seperti Musa? Kalau masa lalu buruknya dengan bangsa Asiria, ini masih mending. Tapi ini buruknya justru dengan bangsa Mesir, wah ini salah alamat. Tapi justru di sinilah Tuhan membuktikan bahwa Dia berkuasa, maka dia memakai Musa. Inilah tahapan Tuhan membentuk hamba-Nya, dari powerful menjadi powerless dan akhirnya menjadi God’s power. Demikian pula dengan Petrus.

Pola pembentukan Paulus juga sama. Dalam perjalanannya ke Damsyik dia berpikir, “Aku sedang melayani Tuhan.” Bagi Saulus, dia adalah orang Farisi, maka dia harus menganiaya orang Kristen yang berani berkata bahwa Yesus dari Nazaret adalah Tuhan dan Mesias. Tapi Tuhan pertemukan dia dengan benturan rohani yang sangat keras. Tuhan kita luar biasa Saudara! Hanya dengan satu pertanyaan saja, seluruh teologia Saulus gugur.

Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Jawab Saulus: “Siapakah Engkau, Tuhan?” Kata-Nya: “Akulah Yesus yang kau aniaya itu.” – Kisah Para Rasul 9:4-5

Hanya dengan satu pertanyaan, seluruh teologia Saulus gugur. Dia menganggap diri sedang melayani Tuhan, tetapi justru ternyata sedang menganiaya Tuhan. Paulus langsung hancur.

Awalnya Saulus merasa diri sangat powerful karena dia membawa surat kuasa dari Sanhedrin (majelis agama) untuk menganiaya orang-orang Kristen. Kemudian dia menjadi powerless dengan menjadi buta selama tiga hari. Dan akhirnya, Paulus hanya bersandar kepada God’s power,

“Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah.” – 2 Korintus 3:5

Saudara perhatikan pola Tuhan membentuk hamba-Nya. Petrus, Paulus, Musa, semuanya sama. Dari powerful, menjadi powerless, dan akhirnya menjadi God’s power. Ini jugalah pola yang Tuhan lakukan kepada kita.

Saya merenungkan perkataan Pdt. Stephen Tong, satu kalimat yang tidak bisa saya lupakan, “Sampai saya setua ini pun, Tuhan masih mendidik saya.” Ini kalimat besar sekali. Jika Pdt. Stephen Tong saja saat usianya sudah lanjut, Tuhan masih terus mendidik beliau, apalagi kita Saudara?

Inilah didikan Tuhan, kita sebagai gereja jika merasa diri powerful, Tuhan tidak akan pakai. Sampai kita semua sudah merendahkan diri, mengakui bahwa kita powerless, baru Tuhan akan pakai kita. Kita harus ingat ini baik-baik: sebelum God’s power dinyatakan, man’s power harus disingkirkan!