“Seharusnya papa jangan terus-terusan minta kakak yang bantuin.” cela istri kepada suaminya. “Mama ga ngerti, dedek kan masih kecil!” protes suami kepada istrinya.
Loh … papa itu jangan sering manjain dia. Nanti semakin menjadi-jadi.” sanggah si istri karena ketidaksetujuan.

Cuplikan percakapan di atas sebagai contoh komunikasi suami-istri yang diwarnai ketidaksetujuan dalam hal mendidik anak. Harus bagaimana seorang anak dididik? Baik suami dan istri tentu akan setuju, anak harus dididik dengan prinsip kasih dan keadilan dari Allah. Namun seberapa kasih sayang yang harus diberikan dan sejauh apa kasih sayang tersebut sudah melampaui batas kewajaran? Hal ini tentu tidak semudah kita petakan di atas kertas.

Kita melihat dari contoh Ishak dan Ribka dalam menangani kedua anak mereka, untuk menjadi evaluasi kasih sayang yang tepat bagi kita. Hal ini dimulai dari “pilih kasih” di dalam keluarga ini. Dalam Kejadian 25:27-28 dicatat Ishak mengasihi Esau karena alasan “makanan”, sedangkan Ribka mengasihi Yakub karena “suka tinggal di kemah”.

Tentu bukan masalah gastronomi semata bagi Ishak untuk mengasihi Esau, atau karena kemampuan berburunya. Tetapi karena apa yang dapat dihasilkan oleh Esau cocok dengan apa yang dikehendaki oleh ayahnya.

Demikian juga dengan Ribka, Yakub adalah seorang yang “tenang” yang siap menemani mama di kemah. Hal ini terlihat dari waktu Yakub yang cukup dan kemahirannya untuk memasak (Kej. 25:29). Ribka merasa senang dengan anak yang mudah diatur dan siap untuk menolongnya.

Baik Ishak dan Ribka memiliki persamaan dalam pola kasih sayang mereka. Mereka berdua sebenarnya lebih mencintai refleksi diri mereka yang ada pada kedua anak mereka. Dengan kata lain, mereka mencintai diri mereka yang tercermin dalam “pilih kasih” mereka.

Seperti kata Bapa Gereja, Agustinus dari Hippo: “kita adalah apa yang kita kasihi”, sehingga sangat mungkin kita mengasihi anak kita dengan proyeksi yang sudah kita “rekam” sebagai sesuatu yang baik dan tepat. Hal itu karena latar belakang budaya, kebiasaan, atau keyakinan kita. Namun apakah yang kita anggap baik itu sudah “baik” seperti apa yang Tuhan inginkan?

Kembali kepada kasus kasih sayang dalam keluarga Ishak dan Ribka. Kasih sayang mereka tersebut secara tidak langsung menyebabkan kasih sayang yang tidak benar. Hal ini disebabkan landasan mengasihi mereka sudah tidak tepat, yaitu mengasihi menurut standar mereka sendiri. Dengan demikian, landasan kasih yang tidak benar menyebabkan kasih Ishak dan Ribka kepada anak mereka juga menjadi salah. Permasalahan ini tidak sepele, karena kasih sayang yang salah tersebut menyebabkan kecurigaan dan konspirasi penipuan dalam keluarga. (Kej. 27)

Kasih sayang dari Ishak dan Ribka justru berujung permusuhan dalam relasi keluarga mereka. Namun tunggu dulu, bukankah hal ini sudah dinubuatkan oleh Tuhan? Bukankah dikatakan: “Dua bangsa ada dalam kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda.” (Kej. 25:23).

Jikalau diperhatikan dengan teliti, nubuatan ini hanya mengindikasikan bahwa: Tuhan menghendaki dua bangsa akan muncul dari dua anak Ishak dan Ribka, di mana Esau akan menjadi hamba dari Yakub, dalam hal ini keturunan dari Yakub akan lebih kuat dari keturunan Esau. Namun apakah Tuhan menghendaki mereka bertikai atau bermusuhan? Apakah “pemisahan” mereka tidak bisa baik-baik, paling tidak tanpa permusuhan?

Di sini kita melihat tanggung jawab Ishak dan Ribka—demikian juga kita sebagai orang tua atau suami-istri—dalam menerapkan kasih sayang. Hal utama yang perlu diselesaikan, bukanlah Ishak harus belajar menghargai ketenangan dan masakan Yakub, ataupun Ribka belajar menyukai hasil buruan Esau, melainkan landasan kasih mereka harus diselesaikan terlebih dahulu.

Landasan kasih yang dimaksud adalah mengubah orientasi kasih dari “diri” kepada “Tuhan” yang beranugerah dan yang mengikat perjanjian dengan umat-Nya. Mengubah fokus dari “apa yang kita inginkan” kepada “apa yang Tuhan inginkan” dalam keluarga kita.

Terkhusus kita sebagai orang yang sudah mengalami cinta kasih dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib sudah nyata bagaimana landasan dan teladan kasih seharusnya dijalankan. Tuhan Yesus ketika di dunia, orientasi hidup-Nya selalu ditujukan untuk menyelesaikan pekerjaan Bapa (Yoh. 4:34; 17:4). Kasih-Nya ditujukan kepada Bapa di surga (Yoh. 14:31). Dengan orientasi kasih yang benar, yaitu kasih kepada Allah Bapa di surga, maka kita tidak akan menaruh kasih sayang kepada anak—ataupun yang lain—secara kebablasan, melainkan tepat seperti apa yang Allah inginkan dalam hidup kita.